img src: tribunjabar.com |
Sekali lagi, kalau tidak sependapat dengan tulisan ini, menulislah dengan cara yang sama. Mari berperang argumen, bukan cuma komen, bukan nyinyir nyonyor kayak orang cemen.
Oke gaes, judul tulisan ini agak ngeri-ngeri sedap. Bisa-bisa saya digulung orang-orang daerah saya sendiri. Ya, saya lahir di Serang. Sekolah di Serang dan Rangkasbitung. Sekarang tinggal di Tangerang. Jadi bisa dibilang Banten pisan meski sempat kuliah di Bandung.
Setelah sosial media lahir dan booming di Indonesia katakanlah Facebook tahun 2009 sebagai pengganti Friendster (jadul banget kayaknya), kita bisa terhubung dengan semua orang baik yang dekat apalagi yang jauh.
Sosial media yang dulu dijadikan media berkomunikasi sekarang beralih menjadi platform jualan, ruang berkarya, tak lupa lahan untuk pamer. Hehe
Kaitannya dengan judul tulisan ini adalah bahwa dari 1690 lebih daftar pertemanan saya, yang sering saya lihat konsisten 'bergaya' mirip sekali dengan orang Baduy justru teman yang berasal dari Bandung. Tak perlu saya sebutkan nama, tapi saya respect betul dengan konsistensi penerapan upaya melestariakan budaya leluhur.
Apa jumlah teman terlalu sedikit? Hmmm...bisa jadi. Atau saya yang kuper alias kurang pergaulan? Mungkin, lebih logis karena tak menemukan yang diharapkan.
Saya, termasuk penjual aksesoris Baduy. Meski yang dijual itu-itu saja, hampir tak banyak varian. Hubungan dengan orang Baduy yang sebatas kolega bisnis bisa jadi salah satu penyebab kenapa saya sendiri tidak 'berpenampilan Baduy'?
Hmmm...
Oke kita kupas, kira-kira apa sih tujuan orang-orang dari wetan (Priyangan) ataupun Kulon (Banten) dalam kesehariannya mirip orang Baduy?
1. Menghormati Leluhur
Apapun kata yang tepat menggantinya, intinya mereka percaya bahwa Baduy adalah leluhur 'yang hilang'. Sebagaimana folklor, legenda, bahkan sejarah mencatat bahwa orang-orang Suku Baduy adalah keturunan Raja. Kerajaan Sunda tepatnya, baik Sunda Galuh maupun Sunda Pakuan. Kok ada dua kerajaan Sunda? Di post selanjutnya yaaa.
Singkat cerita Kerajaan Sunda dengan raja paling populer se antero tanah pasundan, yaitu Sri Baduga Maharaja a.k.a Prabu Siliwangi dan raja-raja selanjutnya yang menjadi pemimpin di Pakuan 'kalah' oleh Kesultanan Banten. Dan sisa-sisa sejarah kerajaan Sunda yang ada dan hidup berbudaya sampai sekarang adalah orang Kanekes atau disebut orang Baduy.
2. Mencintai Budaya
Rasa cinta itu tak dapat dibendung bahkan disembunyikan oleh mereka yang selalu jatuh cinta. Mencintai budaya lokal melekat pada jiwa banyak orang dimana di zaman 4.0 ini, hidup dengan gaya budaya lama justru unik dan melahirkan jiwa seni yang kuat.
3. Personal Branding atau Business Branding
Saya, penjual aksesoris dari Baduy dan dari Banten hampir tidak pernah seharipun full pakaian yang saya pakai mirip orang Baduy. Kenapa? Karena bukan identitas saya, saya tak mau orang men-generalisasi penilaian terhadap Baduy karena melihat saya berperilaku 'aneh' saat 'menjadi' orang Baduy.
Termasuk bisnis saya yang hasil jualannya di dominasi transaksi online tak menampilkan sedikit pun seperti toko 'galery budaya'. Malah lebih mirip toko kelontong atau konter isi pulsa. Wkwkm
Cara yang jitu untuk menarik minat calon pembeli, saat penjual sudah 'merasakan' langsung produk-produk yang mereka jual. Buat saya, tidak. Anlogi sederhana saya tak perlu naik mobil Honda meski saya jual Jazz. Bisa saja saya naik Camry, Swift, atau malah naik ojek? Wkwkm
Membuat personal atau bisnis branding dengan konsisten memperlihatkan keunikan budaya dengan tujuan promosi dan konsisten adalah hal yang luar biasa. Karena saya tak sanggup melakukannya.
Punya alasan lain? Silakan komentar!
Nah sayang sungguh sayang yang paling konsisten 'ngeBaduy' justru bukan orang Banten, atau paling tidak yang menetap di Banten macam saya. Ya, minimal orang Lebak, orang kota Rangkasbitung gitu? Kenapa?
Kenapa bisa begitu? Pendapat sekaligus keresahan saya adalah mungkin salah, silakan koreksi yaitu:
Pertama, kita (orang Banten) masih menganggap orang Kanekes sebagai suku tertinggal. Entah karena memang belum pernah ke Baduy atau karena kurangnya informasi.
Baduy bukan suku yang tertinggal, tapi 'mengisolasi' diri dari gaya hidup modern. Walaupun dengan sedih saya meski berkata saat ini perlahan terkikis dan sudah terimbas teknologi 4.0.
Baduy bukan suku pedalaman, karena jaraknya ± 40km saja dari ibukota Kab. Lebak, Rangkasbitung.
Baduy bukan suku primitif karena dari sekian banyak suku di negara +62 nyaris hanya Baduy yang memiliki sistem ketahanan pangan yang sudah turun temurun dan itu mampu membuat merek bertahan meski negeri ini LOCKDOWN berbulan-bulan.
Kedua, mungkin orang Banten sedikit sungkan atau malu untuk menampilkan upaya pelestarian budaya, adat istiadat, dan warisan leluhur. Makanya lebih banyak yang nonton dan selfie saja saat ada ritual Seba Baduy daripada menyambut mereka dengan pakaian dan dandanan serupa.
Kalau tujuannya bukan untuk 'kerjaan' seperti dagang, influencer dinas dinas pariwisata, atau model bayaran sepertinya tetap malu untuk bergaya Baduy.
Ketiga, Baduy sudah tidak asing bagi orang Banten. Sehingga nilai keunikannya tak kuat menempel di dalam jiwa mereka. Saya termasuk di dalamnya sudah biasa-biasa saja lihat orang Baduy diantara ramainya kota, selalu waspada kalau berjalan, siap menolong orang dimana saja...(mirip lagu).
Tidak asing bisa berarti juga bahwa orang Baduy dianggap bukan suku yang unik lagi karena karena sudah pandai berbisnis. Sudah melek teknologi dan informasi. Sehingga biasa-biasa saja.
Pemerintah belum mengoptimalkan keunikan Baduy ini. Seyogyanya Baduy tak hanya dijadikan 'objek' event wisata oleh pemerintah setempat. Saran saya, nilai-nilai kehidupan di Baduy harus dibawa dan diterapkan sebagai kebijakan daerah.
Apa yang harus diterapkan? Ya mikir olangan lah, emangnya saya pejabat di situ? wkwkm
Peraturan pemerintah mungkin takkan mempengaruhi kenapa orang Banten tidak lebih 'ngeBaduy' dibanding orang Priyangan. Karena pada dasarnya kesadaran individu adalah dasar meningkatnya segala hal yang diperlukan untuk memajukan bangsa ini. Sadar pendidikan, kesehatan, dan melestarikan budaya.
Kalau saya sih tidak sadar...wkwkm
Itu sih menurut saya mah.
0 Comments