Karena propaganda pengaruh terbesar kualitas fotografi adalah ukuran sensor, banyak fotografi pemula semisal saya yang berambisi mencoba bahkan memiliki kamera digital dengan full frame sensor. Saking ngebetnya pengen 'begaya' pro dengan kamera full frame saya rela beli kamera jadul Nikon d700.
Baca: Aliran-Aliran (Genre) dalam Fotografi
Sebelum membeli D700 saya sempat membaca literasi tentang fotografi analog, ya kamera dengan menggunakan negatif film yang familiar dengan sebutan 'klise'. Karena belum cukup isi dompet untuk membeli kamera digital full frame saat itu (2017), saya memutuskan membeli kamera analog.
Fotografi Analog = Full Frame
Ya, kalimat di atas tidak salah karena pada dasarnya sensor full frame sebuah kamera digital merupakan 'adopsi' atau 'digitalisasi' klise pada kamera analog. Ternyata dari tahun 90-an tahu kamera (tustel) saya sudah pakai kamera full frame. Banyak sekali zaman itu hingga tahun 2000an kamera analog full manual atau sudah otomatis.
Bacaan tambahan terkait ukuran sensor: Istilah-Istilah Penting Dipahami dalam Fotografi
Mulai menyukai fotografi di awal 2017an ternyata downgrade menjadi kamera crop sensor (APSC) dari Nikon D3300. Dan saat itu belum menyadari betapa 'nyeninya' menggunakan kamera analog.
Kamera Analog Pertama (dan sudah dijual)
Karena kamera analog dengan kondisi layak pakai agak sulit dicari (apalagi merek Nikon) saya membeli kamera analog Ricoh XR500 mount PK (Pentax) dengan lensa Rikenon 50mm f2. Dengan view finder yang 'kotor' dan lightmeter mati, skill saya terasah untuk terbiasa 'memperkirakan' shutter speed dan bukaan lensa agar mendapatkan eksposure yang tepat dengan film yang memiliki asa 200.
Hasil Jepretan Kamera Analog
Berikut ini beberapa hasil jepretan saya menggunakan kamera analog dengan film Kodak ColorPlus ASA 200:
pekerja di stasiun cisauk |
penumpang di stasiun cisauk |
menunggu kereta di stasiun maja |
security kereta |
becak di stasiun rangkasbitung |
rasikh |
anak suku baduy sedang main calung |
abah oyo yang usianya 115 tahun |
jembatan bambu, gajeboh |
leuit, gajeboh |
suasana kampung gajeboh |
sungai sekitar gajeboh |
Baca juga: Mengenal Apa Itu Rule of Thirds?
Kelemahan Kamera Analog
Meski kamera dan lensanya terbilang murah (saat ini, 2020) dengan 1 juta kamu bisa mendapatkan kamera dan lensa yang bisa digunakan (asal pinter-pinter cari di marketplace), beberapa kelemahan yang saya alami, yaitu:
Mahal
Loh, katanya murah? Kok mahal? iya lah mahal untuk 36 jepretan saya harus invest film klise kisaran 100 rupiah. Kalau digital kan tidak begitu. Misal kamera digital batas shutter countnya 100 ribu kalau dikonversi ke film analog, saya harus invest 2.778 film negatif atau seharga 278 jutaan. Wew!
Mending beli yang full frame atau medium format versi digital sekalian. Itupun dengan ASA yang sama, misal ASA 200. Kalau mau beda terlebih mau black and white beda lagi harganya.
Selain film klise yang tidak murah, jasa cuci dan convert ke file digital juga lumayan menguras kantong. Katakan untuk 1 roll film 36 frame kita harus bayar 50 ribuan untuk cuci dan konvert ke soft file. Silakan saja hitung sendiri berapa besar kantong kita terkuras. Beda lagi ceritanya kalau bisa develop dan convert sendiri. Itu pun harus invest alat develop khusus. Hmmm
Mikir Dulu, Baru Jepret
Ya mungkin ini kelemahan plus kelebihan. Menggunakan kamera analog tidak boleh sembarangan tekan shutter kemudian kokang. Asal pencet film bisa habis. Makanya dulu waktu kecil diomelin kalo sembarangan pencet shutter kamera tustel yang ada filmnya.
Kita dipaksa mikir cepat moment mana yang pas dan anggel serta ekspresi apa yang ingin di dapat. Hal ini jauh berbeda dengan kamera zaman digital dimana kita terbiasa jepret dulu baru mikir. Urusan hasil bisa nanti dipilih mana yang paling bagus. Meskipun kebiasaan ini sebenarnya tidak baik.
Fotografer yang pernah merasakan kamera analog pasti tidak akan menghambur-hamburkan shutter count karena baginya satu jepretan itu memiliki harga.
0 Comments