Seperti kita ketahui, Suku Baduy merupakan salah satu sub Suku Sunda yang menempati wilayah yang disebut 'Ulayat Baduy' yang berlokasi di pegunungan Kendeng bagian selatan Banten. Jaraknya cukup dekat dengan Jakarta kurang lebih sekitar 120km dari ibukota.
Karena cukup dekat jaraknya dengan Ibukota, maka tak layak menyandangkan Baduy sebagai suku pedalaman. Tata cara dalam kehidupannya pun sudah sangat berbudaya dan beradab sehingga tidak termasuk suku primitif seperti sebagian suku yang ditemukan di pelosok dunia.
Pikukuh karuhun warga Baduy menjadi landasan hidup mereka setiap hari dari berbagai hal seperti bercocok tanam, membangun rumah, berpakaian dan lain sebagainya. Warga Baduy tidak mengenyam pendidikan formal atau sekolah, namun pada usia remaja rata-rata dari mereka sudah bisa menulis dan membaca secara otodidak.
Hukum yang diterapkan kepada setiap individu warga Baduy adalah pikukuh yang tidak tertulis. Disampaikan dari generasi ke generasi dengan pitutur dan perilaku sejak dini sehingga sangat melekat pada diri mereka. Warga suku Baduy tidak menyukai dan cenderung menghindari perdebatan, pertentangan, dan perkelahian sehingga hampir tidak pernah terdengar adanya berita tindakan kriminal antar sesama warga Baduy. Semua masalah diselesaikan secara kekeluargaan dengan mengedepakan kesadaran masing-masing individu.
Dari generasi ke generasi, penduduk desa Kanekes yang seluruhnya merupakan warga Suku Baduy terus bertambah dan saat ini berjumlah puluhan ribu orang. Tersebar antara 3 kampung di Baduy Dalam dan puluhan kampung di Baduy luar. Tidak ada batasan setiap kampung harus berjumlah tetap dengan jumlah tertentu. Tiga kampung Baduy Dalam yang merupakan kampung inti (Tangtu) memiliki peraturan hidup yang lebih ketat dibanding Baduy Luar yaitu kampung Cibeo, Cikeusik, dan Cikertawana.
Bisakah Orang Baduy Dalam Pindah Ke Baduy Luar?
Jika tidak ada alasan yang jelas, maka warga Baduy Dalam tidak bisa sembarangan pindah menjadi warga Baduy Luar. Demikian pula tidak bisa keluar sepenuhnya dari Suku Baduy (a.k.a jadi manusia modern) dan tinggal di luar Ulayat Baduy. Jika pun perpindahan terjadi harus dengan sepengetahuan Ketua Adat (Puun) dengan proses yang panjang.
Dengan alasan yang jelas, atau kebanyakan biasanya karena sudah melakukan kesalahan pantangan karuhun (adat), seorang warga Baduy Dalam akan 'dihukum' di kampung adat Cikeusik dengan tinggal disana selama 40 hari. Dia akan diberikan saran, nasehat, dan petuah dari tetua adat untuk tetap tinggal di Baduy Dalam dan menyesali serta tidak mengulangi jika pernah melakukan kesalahan.
Sesudah melewati masa 'karantina' selama 40 hari di kampung Jaro, misal akhirnya memutuskan untuk keluar dari Baduy Dalam, maka ia diperbolehkan dan akan diterima di perkampungan Baduy Luar.
Hal ini berlaku pula untuk Baduy Luar jika ingin keluar dari keterikatan adat Suku Baduy dalam arti menjadi orang luar yang modern. Bedanya, masa karantina dilakukan di kejaroan (Jaro Pemerintah) saja.
Rangkaian perpindahan ini menggambarkan betapa sayangnya tetua adat akan warganya yang hendak keluar dari ajarat Adat. Karena bagi mereka kehidupan tanpa aturan adat akan lebih menyusahkan dengan tidak terkendalinya hawa nafsu dan keinginan.
Tidak ada istilah 'diusir' dalam penerapan adat di Baduy. Seberat apapun kesalahan dan larangan yang dilakukan jika tidak memutuskan pindah, maka orang tersebut tetap berhak tinggal di Baduy Dalam. Begitu juga dengan warga Baduy Luar dengan mengikuti rangkaian yang disebutkan di atas.
Tercatat puluhan orang setiap tahunnya pindah khususnya dari Baduy Luar menjadi 'orang luar' Baduy. Hal ini disebabkan karena eratnya kehidupan mereka dengan kehidupan modern dengan penggunaan teknologi dan lain sebagainya. Kebutuhan yang lebih dari kepemilikan harta dan usaha yang kebanyakan menjadi penyebab mereka ingin 'merdeka' dari ajaran karuhun.
Wilayah perkampungan yang warganya paling banyak memilih keluar adalah Kampung Cisaban. Dikatakan Kang Arsid, karene beberapa alasan. Pertama, lokasinya yang jauh dari jangkauan hukum adat dan kedua dekat dengan perkampungan modern yang mempengaruhi hidupnya.
Di kampung ini meski masih menjadi warga Baduy, banyak pelanggran atau larangan adat yang dilakukan seperti sekolah dan memakai celana panjang (untuk laki-laki) yang secara umum pakaiannya sudah seperti bukan orang Baduy. Jarak kampung ini diperkirakan kurang lebih sama dengan perjalanan dari Terminal Ciboleger ke Baduy Dalam (Cikeusik). Warga kampung ini dominan tidak mengetahui adat istiadat Suku Baduy, mungkin disebakan jauhnya jangkauan dari kampung adat pusat.
Penyesalan Setelah Keluar Dari Baduy
Harta peninggalan warga Baduy yang keluar biasanya akan dijual baik untuk kebutuhan hidup di luar maupun kebutuhan modal bisnis. Ia juga masih diperbolehkan mengunjungi sanak saudara yang masih menjadi warga Baduy. Masih diakui sebagai keluarga namun tidak secara adat.
Menjalani komunikasi usaha dengan orang kota saat masih sebagai warga Baduy, ia mendapatkan keistimewaan dan kemudahan dalam usaha. Dipercaya oleh orang kota karena karakter aturan Baduy yang melekat pada dirinya, sehingga lama-kelamaan dia merasa bisa sendiri hidup di luar tanpa adat Baduy yang menjadi sebab keinginan keluar sebagai warga Baduy.
Ada beberapa orang yang sudah keluar dari Baduy namun masih menggunakan identitas Suku Baduy seperti dalam berpakaian dan ucapan (masih mengaku orang Baduy). Namun biasanya lama-lama ia sendiri akan merasa tidak nyaman dan akan ditahui dengan sendirinya terkait status keluarnya dari Baduy.
Setelah keluar dari Baduy, keistimewaan dalam berusaha/berdagang/berbisnis dengan orang kota akan pudar terlebih jika diketahui sudah keluar dari Baduy. Karakter apa adanya, jujur, dan tidak ambisius sudah tidak dilihat lagi oleh orang kota yang memang memilih berinteraksi langsung karena karakter tersebut. Ia takkan dipercaya lagi karena rekan bisnis mencari orang lain yang masih memegang adat Baduy (masih jadi orang Baduy).
Bisakah Kembali Jadi Orang Baduy (lagi)?
Kehidupan yang keras terlebih dalam berusaha, berdagang, dan berbisnis memunculkan penyesalan dan keinginan kembali menjadi orang Baduy dengan mengikuti segala adat yang berlaku. Tidak adanya aturan menyebabkan keinginan dan ambisi yang tak terbatas. Terlebih jika harta benda yang dijual sepeninggalan di Baduy sudah habis.
Mereka yang menyesal bisa kembali menjadi warga Baduy setelah memenuhi syarat yang mahal. Mahal bukan berarti jumlah uang/benda yang banyak. Melainkan persyaratan berat yang minim publikasi rinciannya. Namun tak sedikit mereka yang menyesal berani membayar persyaratan itu demi kembali menjadi warga Baduy.
Jika persyaratan terpenuhi, maka ia akan 'dikarantina' ulang di wilayah Baduy Dangka. Baduy Dangka bukanlah jenis/pembagian warga Baduy seperti Baduy Luar dan Dalam. Baduy Dangka adalah 'kaki tangan' Puun yang ditempatkan di wilayah luar Ulayat Baduy untuk membendung kehidupan modern yang akan masuk ke permukiman Baduy.
Demikian informasi yang saya sadur dari percakapan saya dengan Kang Arsid di area Terminal Ciboleger tanggal 16 Agustus 2020. Percakapan kami dapat di dengarkan di kanal Youtube saya di bawah ini (audio only):
0 Comments